Loading

20 September 2012

Mencoba Berpikir Ala Detektif


 Oleh: Komang AKG

Mukri dan Ayah Herman sedang asyik duduk lesehan menonton film “Wanted” yang aku pinjamkan. Aku tidur di kasur lantai ruang tamu rumah Ayah Herman sambil sesekali ikut menonton film dari labtop Sohir yang diletakkan di lantai. Sohir ada di dalam kamarnya di sebelah ruang tamu. Tiba-tiba Herman yang tadi sempat keluar karena dipanggil istrinya, datang kembali dengan mata merah.
“HP hilang dengan casnya,” kata Herman dari depan pintu dengan berita yang mengagetkan kami semua. “Pasti dia lagi,” ujar Herman sambil berjalan menuju rumahnya yang berada sekitar lima belas meter di belakang dapur rumah ayahnya. Herman sudah menikah sehingga dia tinggal terpisah dengan ayahnya, walaupun sebenarnya rumah Herman masih satu pekarangan rumah dengan rumah ayahnya. Tapi pekarangan rumah di kampungku memang cukup luas yaitu dua ribu lima ratus Meter Persegi, jadi cukup untuk menampung beberapa rumah. Termasuk bengkel Mukri juga ada di area pekarangan rumah Ayah Herman.
“Tidak mau. Aku tidak mau kalau HP itu hilang, itu HP Delapan Juta pemberian kakakku,” kata Istri Herman yang sudah hampir menangis.

“Bagaimana bisa tidak mau, kalau sudah hilang,” kata Mukri tanpa rasa iba.
Aku, Sohir dan Mukri mengikuti Herman melihat tempat HP dicas. Di kampungku jam tujuh sampai sembilan malam adalah waktu mencas HP, karena saat itulah listrik tenaga diesel dinyalakan. Ternyata tempat HP Herman dicas di tempat yang tersembunyi, di atas meja di dalam kamar tidur Herman. Semua jendela masih terkunci dari dalam begitu juga dengan pintu belakang. Ini memastikan bahwa pencuri masuk dan keluar melalui pintu ruang dapur, lalu menuju kamar tidur. Karena memang tidak ada pintu yang langsung menuju kamar tidur Herman melainkan harus melalui ruang dapur Herman.
“Berani sekali maling itu,” kataku sedikit kagum dengan kehebatan sang pencuri.
“Oh, dia memang berani. Pasti dia lagi,” ujar Herman mengulang kata-katanya yang tadi.
Aku tahu yang dimaksud “dia” itu siapa. Wirabraja (17 thn), dialah pencuri muda berbakat yang ditakuti di wilayah Dusun Sembilan di kampungku. Herman adalah kepala Dusun Sembilan, dia tahu persis kehebatan dan keberanian Wirabraja dalam mencuri. Sudah sangat banyak laporan warga Dusun Sembilan yang datang kepadanya karena resah oleh ulah Wirabraja.
Aku segera pergi ke kamar tamu rumah Ayah Herman mengambil speaker dan hardisk eksternalku. Aku langsung pulang ke rumahku. Maksudku, aku pulang ke rumah kakekku. Bapakku tinggal di rumah kakekku sejak lima tahun yang lalu, sejak kakekku meninggal. Sebenarnya aku hanya sesekali pulang kampung dan kebetulan melihat peristiwa pencurian ini.
Aku memilih masuk kamar dan langsung tidur, walaupun di luar aku dengar orang masih ramai. Bahkan tetap ramai meskipun kampung sudah gelap karena diesel-diesel pembangkit listrik sudah dimatikan. Suara motor kesana-kemari, sepertinya banyak yang terjadi berhubungan dengan peristiwa pencurian ini. Tapi aku memang tidak mau tahu. Entah apa yang dilakukan oleh orang-orang untuk menyelesaikan masalah ini. Aku juga sempat berpikir, “Kalau memperhatikan cara berpikir mereka. Sepertinya mereka bukan mencari solusi, melainkan hanya menambah masalah.”
Benar saja. Pagi hari aku mengetahui ada masalah baru yang ditimbulkan oleh keramaian tadi malam. Keluarga Wirabraja menuntut Herman atas pencemaran nama baik. Herman dipanggil kepala Dusun Delapan untuk mempertanggungjawabkan tuduhannya terhadap Wirabraja yang tanpa bukti. Wirabraja adalah warga Dusun Delapan. Untung saja masalah tuduhan tanpa bukti ini hanya sampai di Kantor Desa dan tidak berlanjut ke Kantor Polisi.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu Herman?” tanyaku pada saat bercerita dengan Bapakku. Sebenarnya pertanyaan ini kutujukan untuk diriku sendiri.
“Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membantu orang yang tertimpa musibah. Tapi hampir semuanya berhubungan dengan materi. Kecuali jika kamu hanya ingin mencoba menenangkan korban, bisa saja dengan memintanya bersabar,” Bapak menjelaskan panjang lebar. Tapi aku tidak mengharap jawaban ini, aku bahkan tidak mengharapkan jawaban apapun.
Aku mencoba mengingat kembali kejadian yang terjadi sebelum peristiwa pencurian itu. “Coba sesekali aku berpikir ala detektif, mungkin saja aku menemukan sesuatu,” pikirku sedikit serius.
Saat aku datang sekitar jam tujuh malam ke rumah Ayah Herman kemarin, aku langsung meminjam labtop Sohir. Sohir adalah adik ketiga Herman yang kuliah di kota dan kebetulan pulang liburan akhir semester. Dia mengambil jurusan labtop, maksudku jurusan komputer, sehingga dia mendapat fasilitas labtop dari ayahnya. Aku meminjam labtopnya dan segera mencari film yang paling menarik dari hardisk eksternalku. Mukri yang mengikuti kedatanganku sudah tidak sabar menunggu, mungkin dia mengira aku akan memutar film ’dewasa’. Tapi itu tidak mungkin, situasi tidak memungkinkan. Ayah Herman duduk di belakangku. Ibu Herman, Istri dan anak-anak Herman juga menonton televisi sambil menyaksikan aku mengutak-atik labtop Sohir.
Setelah aku memulai film “Wanted” dengan suara keras dari speaker yang aku bawa, walaupun bukan ini tujuanku, tapi aku berhasil mengusir Ibu, Istri dan anak-anak Herman. Mereka terpaksa mengungsi menonton televisi di tetangga sebelah.
Sohir pergi makan ke dapur ketika Herman ikut bergabung menonton film “Wanted” yang baru dimulai. Ayah Herman yang sudah hambir kepala enam, kesulitan membaca subtitle yang kecil. Mukri tampaknya tidak memiliki rasa simpati untuk membantu membacakan subtitle film tersebut. Akhirnya Ayah Herman hanya bisa pasrah pada apa yang dilihat dan suara yang didengarnya.
Aku tiduran di kasur lantai ruang tamu. Hingga lebih dari setengah perjalanan film aku sempat bicara, “Sedang apa Sohir di dapur? Sepertinya dia sedang menghitung biji beras,” kataku disambut gelak tawa orang-orang yang sedang asyik menonton film. Dapur Ayah Herman berada di depan rumah Ayah Herman. Dapur orang di kampungku memang terpisah dengan rumah utama, kecuali dapur Herman yang masih menjadi satu dengan rumahnya.
“Wah, sedang nonton film ‘Wanted’ ya? Itu film mantap ceritanya keren,” kata Sohir yang datang dari dapur dan berjalan melalui ruang tamu menuju kamar tidurnya.
“Nanti ada yang menarik di akhir film, ternyata penjahatnya yang lain,” kataku menambahkan dengan maksud membuat penasaran.
“Ya. Ternyata dia membunuh bapaknya sendiri,” ujar Sohir tanpa rahasia.
“Lo, kok kamu bilang-bilang. Filmnya jadi tidak menarik nih.” kata Mukri kesal.
Ingatanku sampai disana, karena tidak lama kemudian Istri Herman datang memanggil Herman. Aku pun tidak bisa melanjutkan ingatanku, karena sebuah bayangan melintas di benakku. Bayangan yang mungkin lahir dari khayalanku, atau mungkin memang jiwa detektifku telah bangkit. Tapi aku yakin ini adalah bayangan wajah sang pencuri. Wajah sang pencuri yang berusaha menenangkan dirinya.
Tiga hari setelah peristiwa itu aku pergi dari kampung, karena aku memang sesuatu yang datang dan pergi. Tapi sebelum pergi aku sempat singgah ke rumah Herman.
“Maaf, aku tidak mudah mencurigai atau menuduh seseorang. Semua analisaku sudah aku ceritakan kepada Mukri, coba tanyakan dia!” kataku kepada Herman. Mukri yang sedang berada di bengkelnya hanya tersenyum membalas senyumanku. Dia memang sudah mengerti maksud kedatanganku menemui Herman, karena sebelumnya aku sempat berdiskusi panjang dengannya tentang analisa detektifku yang ternyata mampu meyakinkannya.***

sumber

No comments:

Post a Comment

..:untuk kemajuan blog ini, silahkan anda berkomentar dengan kata-kata yang sopan:..Thanks............

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...